REFLEKSI ANTAR MATERI MODUL 1.1. MULAI DARI DIRI PELATIHAN CALON GURU PENGGERAK
REFLEKSI
PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA TENTANG PENDIDIKAN
Ki Hajar Dewantara (KHD) sebagai
bapak pendidikan Indonesia telah memberikan penjelasan bahwa pendidikan dan pengajaran merupakan dua
konsep yang saling berkaitan. Menurut KHD, pengajaran merupakan bagian dari
kegiatan pendidikan. Beliau memberikan penjelasan secara jelas agar kita dapat
membedakan kedua konsep tersebut.
Menurut KHD, pengajaran (onderwijs) itu merupakan proses pemdidikan dalam memberi ilmu yang berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin. Sedangkan Pendidikan (opvoeding) adalah upaya memberi tuntunan terhadap segala kekautan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Selain kedua konsep tersebut KHD, juga memberikan
pemahaman kepada kita tentang pendidikan dan kebudayaan. Menurut beliau kedua
hal ini tidak dapat pula dipisahkan, karena menurut beliau pendidikan merupakan tempat bersemainya bibit-bibit kebudayaan
atau peradaban. Filosofi pendidikan KHD ini memberikan gambaran kepada kita bahwa kedua hal
besar pendidikan dan kebudayaan merupakan dua hal yang saling berkaitan yang
sulit untuk dipisahkan, dengan kata lain untuk dapat menghasilkan peradaban
yang baik, maka pendidikan sangat berperan penting didalamnya. Oleh karena itu
pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara harus terus dikembangkan, karena menurut
dia pendidikan dan kebudayaan atau peradaban itu bukan sesuatu yang statis tetapi selalu dinamis, namun menurut beliau
harus tetap memperhatikan kodrat alam dan kodrat zaman.
Mengapa kedua hal itu harus menjadi
pertimbangan dalam mengembangkan pendidikan Indonesia, karena pendidikan pada hakekatnya harus berkembang
sesuai dengan potensi alam yang ada pada daerah anak berdomisili, karena perbedaan
wilayah ini tentunya akan membedakan pula karateristik anak tersebut, namun
tetap berusaha mengikuti kemajuan zaman karena anak juga bukan hanya hidup
sebagai komunitas lokal namun juga sebagai komunitas global yang peradabannya
terus berkembang. Pada konteks ini Ki
Hajar Dewantara menjelaskan bahwa anak
harus diajar sesuai dengan zamannya, oleh karena itu guru seyogyanya memahami
hal ini agar tidak terjadi kekeliruan
dalam penggunaan strategi, media atau pun konten pembelajaran yang disajikan.
Lebih lanjut, Ki Hajar Dewantara
menjelaskan bahwa pendidikan harus
berpusat pada murid, oleh karena itu menurut beliau guru sebagai pamong hanya
mampu menuntun anak untuk mencapai apa yang menjadi jati dirinya, bukan
berupaya memaksakan apa yan menurut gurunya baik. Ki Hajar Dewantara
menganalogikan siswa seperti halnya bibit yang dimiliki oleh seorang petani.
Seorang petani mungkin memiliki aneka ragam bibit, seperti jangung, padi,
kedelai dan lain-lain. Menurutnya seorang petani tidak punya kuasa untuk
mengubah jagung menjadi padi ataupun sebaliknya, petani hanya mampu merawat,
memberikan pengairan, memberi pupuk agar tanaman tumbuh tersebut tumbuh dengan
baik.
Meskipun tanaman tersebut mungkin
berasal dari bibit tanaman yang kurang baik, namun dengan keuletan petani
tersebut, ada kemungkinan akan tumbuh
menjadi tanaman yang akan membuahkan hasil yang lebih baik. Sama halnya dengan
seorang guru, dalam melaksanakan aktivitasnya di sekolah tentunya akan
berhadapan dengan berbagai macam karakter siswa. Guru tidak punya kekuasaan
untuk memaksakan semua siswa tersebut sesuai dengan kehendaknya agar mereka
mejadi seperti apa yang dikehendaki sang guru tersebut, namun ia hanya mampu
menuntun siswa-siswanya agar mereka menemukan jalan masa depannya
masing-masing. Dalam keseharian guru juga mungkin mendapati murid yang kurang
baik dari segi kemampuan pengetahuan, keterampilan atau mungkin prilaku, namun
sebagai guru dituntut tanggung jawabnya layaknya petani yang menanam dan
merawat tanamannya meskipun dari bibit yang kurang baik, ada kemungkinan mejadi
baik. Sama halnya dengan siswa, meskipun dengan input yang kurang baik pada
saat masuk disekolah tersebut, namun dengan kegigihan dan keuletan sang guru
murid tersebut berpotensi menjadi baik dan pintar.
Analogi yang tepat tentang pemikiran Ki Hajar Dewantara, tentang
pendidikan dan kebudayaan ini
sebagai planet yang terus berputar sebagai simbol pendidikan dan
kebudayaan yang harus terus berubah. Planet-planet tersbut juga beredar
pada satu poros yaitu mengelilingi matahari, hal ini dapat mencerminkan bahwa
pendidikan juga harus berorientasi pada satu kekuatan yaitu nilai-nilai
kemanusiaan.
Pada planet tersebut, terdapat beberapa planet seperti Mars, Jupiter, Mekurius
yang memiliki keunikan serta kecepatan perputar yang berbeda-beda dan ini tidak
bisa saling dipertukarkan karena akan terjadi kekacauan. Sama halnya dengan
pendidikan dan kebudayaan terdapat nilai-nilai yang berbeda-beda dimasyarakat.
Pada individu-individu juga terdapat keunikan dan perbedaan antar
individu yang harus dihargai dan tidak dapat saling dipertukarkan atau bahkan dipaksakan
untuk berubah kearah yang tidak ia kehendaki
sesuai dengan kodratnya, namun bukan berarti pendidikan tetap atau statis,
melainkan menurut KHD, pendidikan dan kebudayaan juga merupakan dua hal yang selalu berubah. Dalam
perubahannya ada tiga asas yang menuntun perubahan tersebut, oleh KHD menyebutnya
sebagai asas TRI-KON, yaitu kontinuitas, konvergensi dan konsentris.
Kontinuitas merupakan asas yang menjelaskan bahwa perubahan pendidikan
harus terus menerus dilakukan dan berkelanjutan, namun seyogya tetap
memperhatikan kodrat alam dan kodrat zaman. Oleh karena itu dalam melakukan
perubahan seyogyanya harus terus melakukan diskusi dan telaah atau kajian atau
dialog kritis dengan sejarah serta budaya yang hidup dan tumbuh dalam negeri, sehingga
perubahan tidak menghilangkan nilai-nilai yang sudah ada dan telah lama
berkembang dalam masyarakat.
Asas konvergensi menjelaskan bahwa dalam melakukan perubahan, akan menuju
pada satu titik yang dapat memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, artinya
pendidikan harus memanusiakan manusia, bukan merubah kodrat yang ia miliki.
Kemudian azaz konsentris, yang menjelaskan bahwa meskipun pendidikan
diarahkan pada satu titik yakni memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, namun tetap
menghargai keberagaman, artinya ibarat planet harus beredar sesuai orbit dan
porosnya tidak bisa saling dipertukarkan, karena akan terjadi kekacauan. Sama halnya
dengan pendidikan harus menghargai
keunikan dan perbedaan individu, pendidikan juga harus mampu memerdekan sesuai
kodrat manusia, yang oleh KHD menyebutnya dengan kemerdekaan murid dalam
belajar.
Konsep kemerdekaan belajar ini bukan hanya semboyan semata, namun dalam penerapannya beliau memberikan contoh yang nyata sebagiamana semboyan yang beliau terapkan pada perguruan Taman Siswa yang menjadi sekolah atau pusat pendidikan yang beliau bina, seperti yang dikutip oleh Dr Iwan Syahril,Ph.D pada vidio refleksi filosofis pendidikan Ki Hajar Dewantara, beliau mengatakan bahwa pendidikan dan para pendidik harus berorietasi pada siswa dengan bahasa Ki Hajar Dewantara salah satu azaz dari taman siswa “bebas dari segala ikatan, dengan suci hati mendekati sang anak, tidak untuk meminta sesuatu hak, namun untuk berhamba pada sang anak”
Maksud dari semboyan tersebut, anaklah yang menjadi prioritas, yang menjadi fokus, yang menjadi akhir dari semua kegiatan pendidikan, sehingga dapat menjadikan anak-anak negeri ini merdeka belajar sepanjang hayat, yang berbudi pekerti luhur serta penuh dengan kebijaksanaan.
NILAI-NILAI YANG SAYA PERCAYA TENTANG MURID DAN PEMBELAJARAN DI KELAS SEBELUM SAYA MEMPELAJARI KONSEP MULAI DARI DIRI KAITANNYA DENGAN PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA
Sebagai guru dengan masa pengabdian sekitar dua puluh tahunan, tentunya telah melewati banyak pergantian kebijakan yang berkaitan dengan kurikulum. Perubahan kurikulum ini tentunya erat kaitannya dengan perubahan metode pembelajaran. Perubahan ini tentunya turtu berpengaruh terhadap pemilihan metode pembelajaran. Pada konteks ini tentunya mempertimbangkan tujuan serta rentang usia murid yang akan dibelajarkan. Dalam pertimbangan untuk menentukan apa yang akan dilakukan dikelas, guru tentunya sangat dipengaruhi oleh pengetahuan terhadap cara pandang seorang guru terhadap muridnya.
Mengingat guru adalah ujung tombak dari implementasi kurikulum, maka setiap perubahan kurikulum tentunya akan membara perubahan pola dan paradigma serta cara pandang guru terhadap muridnya. Untuk memahami hal tersebut, maka dalam artikel ini, penulis mencoba mendeskripsikan terlebih dahulu perubahan kurikulum secara singkat kaitannya dengan perubahan cara pandang furu terhadap muridnya.
Di negara kita, sejak merdeka telah mengalami beberapa perubahan kurikulum, mulai sejak 1947 hingga saat ini telah mengalami kurang lebih dua belas kali pergantian kurikulum. Pada setiap kurikulum tersebut tentunya ada penekanan-penekanan yang akan menjadi fokus pencapaian, termasuk perubahan cara membelajarkan murid tentunya terjadi pergeseran-pergeseran didalamnya. Pada pembahasan artikel ini, saya hanya membahas perubahan kurikulum yang pernah penulis jalani sebagai pembelajar.
Penulis menjadi pembelajar atau guru
yaitu sejak tahun 1999, dengan demikian maka perubahan kurikulum yang akan penulis bahas pada artikel ini adalah kurikulum 1994 hingga kurikulum 2022, kaitannya dengan
cara pandang guru terhadap murid dan pembelajaran.
Pada kurikulum 1994, pemerintah pusat lebih dominan dalam menyusun
muatan pelajaran yakni sekitar 80% selebihnya sekitar 20% diserahkan ke daerah
untuk memasukkan konten kurikulum yang sesuai dengan potensi daerah, pada
kurikulum ini biasa disebut kurikulum pusat.
Pendekatan pada kurikulum ini adalah
ketercapaian isi/materi pelajaran yang wajib ditransfer pada diri murid.
Murid dianggap sukses bila menguasai seluruh matapelajaran. Hal ini sesuai
dengan teori Tabularasa-nya John Locke, yang menganggap anak sebagai “kertas
kosong” yang bebas ditulisi sesuai dengan kehendak gurunya. Pada kurikulum ini
peran sangat dominan sebagai satu-satunya sumber belajar. Keadaan seperti ini
menjadikan anak didik pasif, menerima apa adanya kenyataan yang terjadi di dalam
kelas.
Beranjak kekurikulum 2004 pada masa ini sebenarnya biasa disebut
sebagai masa peralihan, karena pada praktiknya, kurikulum ini
tidak pernah disahkan meskipun sempat diimplementasikan secara terbatas.
Pada tahun 2004 ini rancangan
kurikulumnya adalah berbasis kompetensi atau lebih dikenal dengan istilah KBK 2004. Hal yang secara mendasar berubah pada KBK dibanding
kurikulum 1994 adalah perubahan pendekatan pembelajaran, yakni dari Content
Based Learning (pembelajaran berbasis materi) menjadi Competency
Based Learning (pembelajaran berbasis kompetensi).
Dalam praktiknya, hal ini tampak
dari mulai munculnya aspek tambahan pada proses penilaian yakni penilaian pada
aspek keterampilan dan penilaian pada aspek sikap, selain penilaian pada aspek
pengetahuan. Namun, pada laporan hasil belajar murid, ketiga aspek ini akan
diproses dan hanya muncul sebagai nilai angka yaitu hasil pengolahan rata-rata
ketiga aspek tersebut untuk tiap-tiap mata pelajaran. Adapun karateristik Kurikulum 2004 ini adalah sebagai
berikut:
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi baik secara individu maupun klasikal. KBK memuat sejumlah kompetensi yang harus dicapai siswa dan kompetensi tersebut sebagai standar minimal atau kemampuan dasar.
2. Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman, artinya keberhasilan pencapaian kompetensi dasar diukur dariindukator hasil belajar.
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi sesuai dengan keberagaman siswa
4. Sumber belajar bukan hanya guru tetapi sumber belajar lain yang memenuhi unsur edukatif digunakan, sudah menyesuaikan dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi.
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam uopaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Pada kurikulum ini, murid dituntut aktif mengembangkan keterampilan untuk menerapkan
IPTek tanpa meninggalkan kerja sama dan solidaritas, meski sesungguhnya antar
siswa saling berkompetisi. Jadi di sini, guru hanya bertindak sebagai
fasilitator, namun tidak bisa dipungkiri bayang-bayang pembelajaran yang
mengejar ketuntasan konten materi masih sangat melekat dibenak guru karena pemerintah mensyaratkan nilai ujian nasional
sebagai syarat kelulusan utama dalam menyelesaikan studi bagi murid.
Hal
ini tentunya turut berpengaruh terhadap pembelajaran yang disajikan guru, yakni
pembelajaran aktif menyenangkan dengan guru sebagai fasilitator, namun tetap
mengutamakan ketuntasan materi ajar. Pada masa ini sudah mulai ada pergeseran
cara pandang guru terhadap siswa, yakni bukan semata-mata sebagai obyek
pendidikan, namun juga sebagai subyek yang harus berupaya mencari tambahan
pengetahuan diluar materi yang disajikan guru untuk menambah pengetahuan dan
keterampilan yang disajikan guru.
Kurikulum 2004 ini, kemudian disempurnakan oleh pemerintah pada tahun 2006 dengan nama Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) yaitu sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun oleh dan dilaksanakan pada masing-masing satuan pendidikan di Indonesia. KTSP secara yuridis diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentan Standar Nasional Pendidikan.
Penyusunan KTSP oleh sekolah dimulai sejak tahun ajaran 2007/20-8 dengan mengacu pada standar isi (SI) dan standar kempetensi lulusan (SKL) untuk pendidikan dasar, dan pendidikan menengah sebagaimana yang diterbitkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional masing-mansing Nomor 22 tahun 2006 dan nomor 23 tahun 2006, serta panduan pengembangan KTSP yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Ciri
yang menonjol pada kurikulum ini adalah adanya asas desentralistik dalam
penyusunan KTSP. Desentralisasi tersebut
memberikan ruang kepada daerah untuk merancang dan menetapkan segala tata aturan yang dicantumkan dalam
kurikulum, namun dalam pengembangan kurikulum harus tetap mengacu pada Standar
Nasional Pendidikan yang telah ditetapkan oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP).
Pada
kurikulum ini peran guru sebagai fasilitator untuk mengantarkan murid pada terwujudnya manusia
Indonesia yang unggul dalam pengetahuan dan menguasai IPTek, diberikan ruang
yang lebar untuk berkreasi, namun lagi-lagi bayang-bayang target ketuntasan
materi masih menjadi beban bagi guru dalam membelajarkan siswa karena masih ada
syarat nilai ujian yang menjadi patokan serta mejadi syarat kelulusan murid
dalam menempuh pendidikan. Hal menyebabkan cara pandang guru terhadap siswa dan
cara pandang guru terhadap pembelajaran yang diberi ruang untuk berubah menjadi
fasilitator penuh sesuai dengan bakat dan potensi daerah untuk mengarahkan
murid pada tercapainya tujuan pendidikan menjadi terhambat.
Berdasar pada permasalahan tersebut,
pemerintah kembali merancang dan merilis kurikulum baru yang diberi nama kurikulum 2013 (KTSP
2013). Pada kurikulum ini, ciri utamanya adalah pembelajaran perpusat pada
siswa, dengan empat aspek penilaian, yaitu aspek
pengetahuan, aspek keterampilan, aspek sikap, dan perilaku. Pada kurikulum 2013
ini ada beberapa materi pelajaran yang dirampingkan seperti Bahasa Indonesia, IPS, PPKn, dan lainnya, sedangkan materi yang ditambahkan adalah
materi Matematika. Hal ini bukan tanpa alasan karena Indonesia
berdasarkan hasil tes dari beberapa lembaga dunia yang mengukur kemampuan dasar
seperti PISA dan TIMSS tergolong rendah dalam kemampuan Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, sehingga mendorong pemerintah untuk mengadakan penyesuaian
konten kurikulum.
Sumber: shorturl.at/btuC3
Pada kurikulum ini, dituntut agar siswa mampu menguasai keterampilan abad 21, yang biasa dikenal dengan istilah 4C, yaitu keterampilan berpikir kreatif (creatif thinking), berpikir kritis dan pemecahan masalah (critical thingking and problem solving), berkomunikasi (communication) serta kemampuan kolaborasi (collaboration)
Kurikulum 2013 ini memberikan ruang kebebasan bagi sekolah dan guru untuk berkreasi untuk mendidik, membimbing dan mengarahkan serta membelajarkan siswa agar memperoleh keterampilan yang dipersyaratkan pada abad 21 yang menjadoi tantangan yang dihadapi bangsa ini.
Adanya tuntutan keterampilan tersebut mendorong adanya perubahan paradigma dalam membelajarkan sisw, yakni guru dituntut untuk menghadirkan pembelajaran yang mendorong tercapainya keterampilan abad 21 seperti penerapan pembelajaran discovery learning, problem based learning, project based learning yang berbasis pada peningkatan keterampilan bukan hanya sekedar pencapaian pengetahuan. Cara pandang guru terhadap siswa pun bergeser dari obyek menjadi subyek. Oleh karena itu guru benar ditntut harus menjadi fasilitator untuk mewujudkan keterampilan abad 21 tersebut.
Namun dibalik kehebatan siswa yang begitu terampil dalam penguasaan pengetahuan, keterampilan dan teknologi, ada masalah baru yang kemudian muncul yakni adanya krisis karakter dan budaya bangsa. Kondisi ini dicerminkan oleh munculnya prilaku-prilaku peserta didik yang tidak lagi mengenali jati dirinya sebagai bangsa Indonesia, serta cenderung melupakan budaya daerahnya masing-masing.
Berdasarkan persoalan tersebut, pemerintah tidak tinggal
diam, terlebih pada saat terjadi persoalan yang meninpa dunia pada tahun 2019
hingga tahun 2021, yakni munculnya Covid-19, yang menjadi pandemi yang melanda
dunia. Hal ini membutuhkan usaha keras
dari pemerintah yang mengadakan perbaikan kurikulum 2013 menjadi kurikulum yang
dapat diadaptasi pada masa pendemi Covid-19, sehingga lahirlah kebijakan untuk
memberikan ruang kepada sekolah untuk menyesuaiakan dan merampingkan materi
kurikulum 2013 dengan mengajarkan materi esensial saja. Kebijakan ini tidak
berhenti begitu saja, sebagai upaya mengejar ketertinggalan Indonesia.
Berdasarkan
riset yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Kemendikbudristek), pandemi Covid-19 telah menimbulkan kehilangan pembelajaran
(learning loss) literasi dan numerasi yang signifikan. Kemendikbudristek
kemudian menyusun Kurikulum Prototipe sebagai bagian dari kurikulum nasional
untuk mendorong pemulihan pembelajaran di masa pandemi Covid-19. Mulai tahun
2022, kurikulum nasional memiliki tiga opsi kurikulum yang bisa dipilih oleh
satuan pendidikan untuk pemulihan pembelajaran di masa pandemi Covid-19, yaitu
Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat (Kurikulum 2013 yang disederhanakan)
Pemulihan
pembelajaran di masa pandemi Covid-19 penting dilakukan untuk mengurangi dampak
kehilangan pembelajaran (learning loss) pada peserta didik.
Oleh karena itu pada tahun 2021,
Kemendikbudristek memperkenalkan Kurikulum Prototipe sebagai opsi tambahan bagi
satuan pendidikan untuk melakukan pemulihan pembelajaran. Kurikulum Prototipe
ini mulai diterapkan di Sekolah Penggerak dan SMK Pusat Keunggulan (SMK PK).
Pada
kurikulum portotipe ini, penekanan pada aspek kemerdekaan belajar untuk mewujudkan
profil pelajar Pancasila menjadi arah dari kurikulum ini. Pada kurikulum
portotipe ini, pembelajarannya adalah berbasis modul. Model pembelajaran
seperti ini, memandang murid sebagai individu yang sudah dewasa, sehingga peran
guru hanya sebagai penuntun bagi murid untuk memahami jalan menuju masa
depannya.
Meskipun belum diterapkan secara meluas, namun
pemerintah terus melakukan evaluasi dan perbaikan serta penyempurnaan. Pada
tahun 2022, pemerintah mulai memperkenalkan kurikulum baru sebagai hasil
penyempurnaan dari kurikulum portotipe yaitu kurikulum merdeka belajar dengan
nama KOS P5BK (Kurikulum Operasional Sekolah) yang berbasis Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Budaya Kerja
Pada kurikulum ini, materi pelajaran
lebih sederhana; tuntutan relevansi materi sesuai konteks budaya lokal; kurikulum lebih merdeka dengan masa 2
tahun siswa tidak ada penjurusan;
pembelajaran peran guru hanya sebagai
penuntun menuju masa depan; bukan hanya pengetahuan dan keterampilan namun budi
pekerti menjadi penekanan; tujuannya untuk mewujudkan insan Indonesia yang berbudi pekerti luhur dengan penuh
kebijaksanaan sesuai profil Pelajar Pancasila yakni; 1) Beriman, bertakwa
kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia; 2) Mandiri; 3)
Bergotong-royong; 4) Berkebinekaan global; 5) Bernalar kritis; 6) Kreatif.
Harapannya dengan kurikulum ini
dapat mengusahakan lompatan pendidikan yang signifikan sehingga pendidikan
Indonesia maju dan tetap beradab sesuai
dengan jati diri bangsanya sebagai bangsa Indonesia.
Jadi dengan demikian, nilai dan cara pandang saya terhadap siswa tentunya mengikuti perkembangan kurikulum yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sejak tahun 1999 sebagai titik awal saya menjadi guru, saya memandang siswa sebagai individu yang tidak tahu apa-apa yang harus diajari segala sesuatu. Hal ini mempengaruhi cara membelajarkan siswa pada periode tersebut, dengan menjadikan diri saya sebagai guru satu-satunya sumber (teacher oriented). Pada periode ini siswa saya anggap sebagai obyek yang harus mengikuti apa yang menjadi arahan dan keinginan saya. Dalam poembelajaran pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ketuntasan materi atau content based learning (pembelajaran berbasis materi). Hal ini bukan tanpa alasa, target utama bagi saya sebagai guru adalah bagaimana siswa dapat lulus dengan nilai sangat baik.
Nilai-nilai ini terus-menerus membayangi pembelajaran yang saya lakukan dikelas meskipun pada tahun 2006 telah terjadi pergantian kurikulum. Pada tahun 2013, terjadi lagi pergantian kurikulum, pada era ini terjadi pergeseran cara pandang terhadap murid, murid harus dipandang sebagai subyek dan guru bukan menjadi satu-satunya sumber belajar. Pembelajaran yang disajikan harus berorientasi pada siswa dengan beberapa tuntutan kompetensi yang harus dimiliki, yaitu; (1) kompetensi sikap spiritual, (2) sikap sosial, (3) pengetahuan, dan (4) keterampilan (Sumber: Permendikbud No. 37 tahun 2008)
Namun lagi-lagi bayang-bayang akan
taget nilai siswa yang harus lulus dengan nilai baik masih menjadi hantu bagi
saya dalam membelajarkan siswa saya dikelas. Sehingga pembelajaran yang
disajikan belum sepenuhnya berorientasi pada siswa sebagai individu yang
memiliki kemerdekaan dalam belajar.
Berlanjut pada masa pandemi, pada masa
ini saya lebih memiliki keleluasaan dalam membelajarkan siswa saya karena sudah
tidak mewajibkan ujian nasional sebagai patokan, namun memberikan ruang kepada
sekolah untuk mengembangkan penilaian dan bukan merupakan satu-satunya ukuran
kelulusan murid, dengan menggantinya dengan AKM (Asesmen Kompetensi Minimum), survey
karakter dan survey lingkungan.
Kebijakan ini mengantarkan pada perubahan cara pandang saya terhadap murid yang saya ajar, dengan memperlakukan mereka sebagai individu yang memiliki kebebasan sebagai individu yang merdeka dalam berekspresi untuk mencapai empat kompetensi yang telah digariskan dalam kurikulum 2013 yang diadaptasi pada masa pandemi.
Konsep merdeka bagi murid ini berlanjut dalam penyempurnaan kurikulum pada tahun 2022 dengan nama kurikulum portotipe yang mulai diterapkan pada sekolah-sekolah penggerak yang menjadi piloting kurikulum ini dengan pelaksanaan secara mandiri, lalu disempurnakan menjadi KOS (Kurikulum Operasional Sekolah) dengan mengusung pembelajaran berbasis P5BK (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila).
Kurikulum ini mengusung kemerdekaan
bagi murid dalam belajar dengan jargon merdeka belajar, yang lebih menekankan
pada pembelajaran kolaboratif (kolaboratif
learning). Pada merdeka belajar ini, memandang bahwa murid adalah individu
yang merdeka, sehingga dalam membelajarkan mereka guru hanya menuntun mereka
kepada jalan menuju masa depan mereka bukan memaksakan sesuatu yang belum tentu
sesuai dengan kodrat sang murid tersebut.
PERUBAHAN PEMIKIRAN ATAU PERILAKU SETELAH MEMPELAJARI KONSEP MULAI DARI DIRI KAITANNYA DENGAN PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA
Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang memandang anak sebagai individu yang merdeka, mendukung konsep kurikulum portotipe yang mengusung jargon merdeka belajar. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa anak ibarat bibit yang dimiliki petani. Beliaua lebih lanjut dalam analogi ini menjelaskan bahwa seorang petani memiliki banyak bibit, ada padi, jagung, kedelai dan lain-lain. Petani tersebut tidak mempunyai kuasa untuk mengubah bibit bibit tersebut, misalnya padi mau diubah menjadi jagung atau sebaliknya, namun petani tersebut hanya mampu merwat, memberi pupuk serta pengairan yang baik sehingga tanaman tersebut tumbuh menjadi tanaman yang sehat.
Hal ini jika dikatikan dengan pembelajaran di sekolah, maka guru tidak punya kemampuan untuk mengubah siswanya sesuai keinginan guru, namun hanya punya kemampuan untuk mengarahkan pada tujuan atau cita-cita mereka masing-masing dalam menghadapi setiap episode perkembangan dan kemajuan zaman yang akan mereka hadapi.
Dalam hidup ini, perubahan dan perkembangan serta kemajuan teknologi maupun peradaban lainnya tidak bisa dihindari, oleh karena itu, guru harus hadir sebagai penuntun bagi siswa pada posisi mengantar mereka dalam menapaki setiap perubahan yang beradab.
Pada Konteks perubahan zaman ini, KHD memberi penekanan bahwa dalam melakukan perubahan terutama pada pendidikan dan kebudayan, harus tetap memperhartikan kodrat alam. Pernyataan ini bukan tanpa alasan, menurut KHD, murid harus dibelajarkan sesuai dengan zaman anak tersebut hidup sehingga sesuai perkembangan zaman, misal kita ambil contoh, era digital saat ini, maka guru harus harus dengan pembelajaran yang sesuai dengan konteks sekarang ini. Namun beliau mengingatkan kembali, meskipun terus berubah menyesuaikan perkembangan zaman, akan tetapi kodrat alam tetap harus diperhatikan.
Merujuk pada konsep KHD tersebut, maka perubahan pemikiran atau paradigma baru bagi saya adalah; guru harus memandang siswa sebagai individu yang merdeka dalam belajar yang mampu memanusiakan dirinya; guru hanya bertindak sebagai penuntun menuju masa depan murid tersebur dengan tetap memperhatikan budaya dan sosio kultur masyarakat disekitarnya.
Sumber: shorturl.at/gprFM
Nilai-nilai kultur yang berkembang di Sulawesi Tenggara tentunya banyak dan beragam, karena di Sulawesi Tenggara terdapat beberapa suku yang mendiaminya, secafra garis besar, ada 5 suku besar yang mendiaminya yakni; Tolaki. Muna, Buton, Bugis dan Moronene. Kelima kelompok suku ini tentunya masing-masing memiliki nilai-nilai yang berkembang dimasyarakatnya, namun yang saya akan angkat pada tulisan ini adalah nilai-nilai sosio kultur dari masyarakat Muna.
Di Muna ada satu budaya yang berkembang yakni “Pokadulu”. Pokadulu ini identik dengan gotong royong untuk mebantu meringankan beban keluarga atau anggota masyarakat dalam satu desa atau lingkungan. Pada mulanya Pokadulu ini hanya untuk membersihkan kebun, namun dalam perjalanannya sudah masuk pada berbagai hajatan baik acara suka cita maupun acara duka ( acara hidup maupun kematian).
Mengapa hal ini Penulis angkat karena antara pokadulu
dengan pendidikan sesuai kodrat murid, sama-sama menganut nilai kebersamaan dan
persatuan, kolaborasi dan kerja sama dalam mencapai tujuan. Pada pemikiran KHD
tentang pendidikan menuntun murid sesuai dengan kodratnya. Dalam konteks ini
salah satu kodrat manusia adalah sebagai makhluk sosial, yang harus hidup
berkelompok, bekerja sama dan berkolaborasi untuk menyelesaikan permasalahan
yang ia hadapi termasuk dalam belajar. Makanya dalam konsep merdeka belajar
siswa selalu diarahkan pada pembelajaran kolaboratif learning atau belajar
sesama atau belajar bersama teman sejawat. Sehinga kedua konsep tersebut sangat
tepat jika dipadukan untuk diterapkan pada konteks kelas dan sekolah untuk
mengembangkan budaya lokal guna mewujudkan murid Indonesia sesuai profil
pelajar pancasila.
Lantas
seperti apa penerapan konsep pemikiran KHD tentang pembelajaran yang sesuai
dengan kodrat murid serta sosio kultur budaya pokadulu pada masyarakat Muna
agar dapat diterapkan dikelas dan di sekolah.
Langkah awal adalah lakukan koordinasi dan penyamaan
visi perangkat organisasi sekolah agar memahami tujuan kegiatan, terutama
kepala sekolah dan wakasek serta dewan guru.
Langkah
selanjutnya lakukan analisis konten materi pelajaran serta program ekstrakurikuler
yang ada disekolah.
Langkah selanjutnya melakukan pengintegrasian kedalam mata pelajaran serta program OSIS dan ORDIBASIS. Salah satu aksi nyata yang dapat saya lakukan adalah gotong royong dalam membersihkan lingkungan sekolah dengan mengusung slogan ‘LISASIPATE OK” (Lihat Sampah Ambil, Simpan Pada Tempatnya, Olah menjadi Kerajinan).
Pengintegrasian ini bertujuan untuk menghidupkan kembali kultur budaya lokal "Pokadulu", dengan demikian meskipun murid belajar pengetahuan kekinian, namun tidak melupakan budaya bangsanya. Harapannya ke depan kegiatan ini dapat menebalkan laku murid tentang nasionalime yang dapat mewujudkan insan Indonesia yang maju dalam pendidikan dan peradaban, berbudi pekerti luhur dengan penuh kebijaksanaan, sebagai hasil dari pembelajaran yang berbasis P5BK (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Budaya Kerja).
Komentar